Keesokan harinya, sebelum subuh aku dan
Bahrijal berencana kembali ke Mercusuar Willem's Toren. Kami mau menikmati pemandangan sunrise di sana. Teman-teman yang lain
tidak mau ikutan, mereka memilih melanjutkan tidurnya.
Aku dan Bahrijal berangkat ke mercusuar
dengan masing-masing mengendarai sepeda motor. Jalanan sangat gelap,
satu-satunya sumber cahaya adalah lampu sepeda motor kami. Karena sudah pernah
melewati jalan ini kemarin, kami bisa sampai dengan cepat ke mercusuar, sekitra
15 menit saja.
 |
Pemandangan menjelang subuh di langit Pulo Breuh |
Sampai di sana, suasana terasa sepi
sekali. Lampu mercusuar tampak bercahaya berputar-putar. Miliaran bintang
bertebaran di langit gelap. Kami pun naik ke puncak mercusuar.
Sesampainya di sana, sambil menunggu
subuh dan sunrise, aku mengambil foto
bintang dan langit malam. Bahrijal melihat-lihat pemandangan sekitar sambil
mendengar musik. Tampak beberapa kapal tanker besar melintas di luar batas
Indonesia, searah Pulau Rondo. Kami shalat subuh di puncak menara. Kemudian
matahari pun terbit dari timur. Tapi awan lumayan tebal sedikit menghalangi
cahayanya.
Setelah menikmati sunrise, kami sempat berfoto-foto lagi di bawah mercusuar dan di
reruntuhan gedung. Sesudah itu kami kembali ke desa Meulingge. Kami menuju
rumah Keuchik. Teman-teman yang lain sudah berkumpul di sana untuk sarapan.
Hari ini kami akan melanjutkan petualangan mengelilingi Pulo Breuh.
 |
Sunrise dari Puncak Mercusuar Willem's Toren |
Tempat yang pertama kami datangi hari
ini Pantai Pasi Lambaro. Pantai ini terbentang panjang dengan pasir putih yang
indah. Di seberang lautan, tampak pulau kecil yang kelihatannya berbentuk
seperti kura-kura. Pulau itu adalah Pulau Kelapa. Kami berfoto-foto di situ,
kemudian melanjutkan perjalanan.
Tujuan berikutnya adalah Lampuyang.
Desa yang juga memiliki pelabuhan ini terletah di sebelah timur Pulo Breuh.
Lumayan jauh juga perjalanan yang harus ditempuh dengan sepeda motor. Kami
beristirahat siang itu di dekat pelabuhan Lampuyang. Shalat zuhur dan menikmati
makan siang di warung setempat.
 |
Pelabuhan Lampuyang |
Sorenya, dari Lampuyang kami kembali ke
Pasi Lambaro. Kami berencana menikmati sore di pantai sambil berburu sunset. Kami berjalan-jalan menyusuri
pantai, berfoto, mengumpulkan keong, kerang kecil dan umang-umang. Tapi
lagi-lagi cuaca tidak terlalu bagus untuk menikmati sunset. Sore itu lagi-lagi berawan.
Di sana kami berkenalan dengan Aulia,
seorang anak warga Desa Seurapong yang letaknya tak jauh dari Pasi Lambaro.
Malam terakhir di Pulo Breuh, kami menginap di Seurapong, yang lebih dekat
dengan pelabuhan Deudap, tempat kapal pagi berlayar menuju Banda Aceh. Oh ya,
akhirnya kami menambah durasi tinggal di Pulo Breuh karena masih ada tempat
yang belum terexplore. Sesudah magrib di Seurapong hari itu,
kami kembali ke Meulingge untuk menginap semalam lagi.
Satu tempat lagi yang ingin kami
kunjungi adalah Ujong Naleung. Letaknya tepat di ujung Pulo Breuh. Perbukitan
yang langsung berbatasan dengan laut. Permukaannya hijau ditutupi ilalang.
Kemarin siang kami juga mencoba ke sana melewati jalan perkebunan warga dari
desa Seurapong, tapi batal karena hujan gerimis dan medannya terlalu berat
dilalui motor. Hari ini kami akan mencoba dengan berjalan kami dari sisi kiri
Pasi Lambaro.
 |
Pemandangan Super Indah di Ujong Naleung |
Medannya awal-awal cukup sulit, harus
melewati batu karang besar. Akhirnya, hanya 3 orang yang melanjutkan
perjalanan, aku, Bahrijal dan Uswah. Sementara Rikaz, Bang Gun, Putri dan Al
tidak jadi ikut. Mereka memutuskan untuk tinggal dan berkeliling di sekitar
desa Seurapong saja.
Perjalanan ke Ujong Naleung lumayan
jauh juga. Kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Kami melewati 2 bagian batu
karang yang lumayan sulit. Selebihnya medan lebih ringan, melewati beberapa
pantai kecil yang indah.
 |
Bertujuh, sunset di Pasi Lambaro (Photo By: Putri) |
Rasa lelah dalam perjalanan ini
terbayarkan dengan keindahan pemandangan di Ujong Naleung. Angin bertiup
kencang membuat ilalang bergoyang. Lautan biru tampak terbentang di depan mata.
Sekitar satu jam menikmati pemandangan itu, kami kembali ke Pasi Lambaro.
Menjelang magrib kami sampai di Pasi
Lambaro, berkumpul lagi dengan teman-teman yang lain. Aulia juga ada di sana.
Setelah shalat magrib di dekat rumah Aulia, kami melapor untuk menginap ke
rumah Keuchik Seurapong.
 |
Lobster sebelum diolah (Photo By: Putri) |
Malam terakhir kami di Pulo Breuh
ditutup dengan menu spesial. Menu malam itu adalah mie tumis lobster. Aulia
membantu kami membeli lobster dari nelayan di Seurapong. Setelah negosiasi,
dengan Rp. 100.000,- kami bisa mendapat 1,3 kg lobster. Kemudian Aulia
membersihkannya, mengantarnya ke warung Mie Aceh dan meminta pemilik warung
mengolah lobster itu bersama mie goreng. Oh ya, mie yang digunakan adalah mie
instan Indomie. Katanya lobster lebih enak dinikmati dengan mie instan daripada
mie telur atau mie tepung yang biasa dipakai untuk membuat Mie Aceh.
Rasa Mie Lobsternya memang enak sekali.
Kami santap beramai-ramai bersama keluarga Aulia. Tak ada yang tersisa.
Semuanya puas. Kemudian kami pun tidur. Teman-teman cewek tidur di rumah Aulia,
sementara yang cowok tidur di sebuah balai tak jauh dari rumah.
 |
Lobster setelah diolah dengan mie tumis (Photo By: Putri) |
Keesokan paginya, kami berpamitan
kepada Aulia dan keluarganya. Sesudah menikmati sarapan dan kopi pagi di pelabuhan,
kapal Satria Baro siap membawa kami pulang ke Banda Aceh.
Belum ada tanggapan untuk "Menjelajahi Pulo Breuh, Pulau Paling Barat Aceh, Indonesia (Bagian 2)"
Posting Komentar