Bukan cuma
Sabang yang punya keindahan alam dan layak menjadi tujuan wisata di barat
Indonesia. Cobalah berkunjung ke kawasan Pulo
Aceh. Pulo Aceh, atau Pulau Aceh adalah salah satu kecamatan
di Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan ini terdiri dari beberapa pulau. Pulau
terbesar adalah Pulau Breuh (Pulau Beras), kemudian Pulau Nasi, Pulau Bunta,
Pulau Keureusik, dan beberapa pulau kecil lain di sekitarnya.
Kawasan ini
punya kekayaan
alam yang
tak kalah indahnya.
Kali ini
aku berkunjung ke Pulau Breuh, pulau paling Barat Indonesia yang berpenghuni.
Di pulau ini terdapat Desa
Rinon, yang konon namanya berasal dari kata RI Nol atau titik 0 Republik
Indonesia. Entah bagaimana akhirnya sampai titik 0 dan tugu kilometer 0
Indonesia berada di Sabang, Pulau Weh.
Aku
berangkat bersama 6 orang teman pada hari Jumat (11/09). Mereka adalah Rikaz, Rial, Bang Gunawan dan adiknya, Putri, serta Bahrijal dan
Uswah. Kami mengendarai 4 sepeda motor, semuanya berboncengan, kecuali Rial.
Aku bersama Rikaz, Bang Gunawan bersama Putri, dan Bahrijal bersama Uswah.
 |
Mercusuar Willem's Toren tampak dari reruntuhan gedung peninggalan Belanda |
|
Perjalanan
dimulai dari Pelabuhan Lampulo. Kami menumpang kapal nelayan Jasa Bunda. Biaya
trasportasi ke Pulau Breuh sebesar Rp. 20.000,- per orang, Rp. 20.000,- untuk
motor dan Rp. 15.000,- sampai Rp. 20.000,- untuk ongkos menaikkan dan menurunkan
motor ke kapal di pelabuhan. Kapal
berangkat terlambat dari jadwal yang seharusnya jam 14.00 seusai Shalat Jumat. Kami baru meninggalkan
pelabuhan jam 15.00 sore. Selama perjalanan, angin dan ombak yang lumayan
kencang dan mengguncang kapal sempat kami rasakan. Setelah melewati perjalanan
sekitar 2 jam, akhirnya kami mendarat di pelabuhan Desa Gugop.
 |
Reruntuhan gedung peninggalan Belanda tampak dari puncak Mercusuar Willem's Toren |
Kami
langsung menuju ke masjid di dekat pelabuhan untuk shalat asar dan membersihkan
motor dari air laut yang terciprat selama perjalanan di kapal. Kami sempat
bercengkrama dan berfoto dengan anak-anak setempat yang bermain di halaman
masjid.
Dari situ,
kami melanjutkan perjalanan ke Desa Meulingge, tempat kami akan bermalam. Jalan
dari Gugop ke Meulingge medannya bervariasi, ada yang beraspal mulus, berbatu,
tanah becek, berdebu serta jalan yang datar dan tanjakan serta turunan yang
cukup curam. Jarak antara kedua desa ini lumayan jauh. Kami singgah untuk
shalat magrib di sebuah mushala kecil di pinggir jalan. Baru kemudian
melanjutkan perjalanan dan sampai ke Meulingge sekitar jam 20.00 malam.
 |
Tangga menuju reruntuhan gedung |
Sesampainya
di Meulingge kami singgah di warung di dekat pelabuhan. Warung ini milik Bang
Zakir. Kami mendapat kontaknya dari Bang Arie, kawan yang sebelumnya sudah
pernah ke pulau Breuh. Setelah istirahat sejenak dan makan di warung Bang
Zakir, kami menemui Pak Keuchik (Kepala Desa) untuk melapor dan meminta izin
menginap. Para cewek menginap di rumah Pak Keuchik, sedangkan kami para cowok
menginap di Balai Desa tak jauh dari rumah Pak Keuchik. Rasa lelah yang
terkumpul dari perjalanan sejak siang tadi membuat tidur di malam itu terasa
enak sekali.
Oh ya, di
Pulau Breuh warung nasi cuma
ada di Desa Seurapong. Jadi,
untuk makan kita harus menumpang di rumah warga, tentunya setelah melapor dulu
sebelumnya agar mereka bisa menyiapkan hidangan sesuai kebutuhan. Kita cukup
membayar sejumlah uang untuk mengganti bahan dan ongkos masak. Kalau mau
berkeliling pulau seharian, tentunya juga harus menyiapkan bekal yang cukup,
seperti roti, cemilan dan air mineral.
 |
Pantai Ujung Puneun |
Keesokan
paginya, perjalanan kami mengunjungi spot-spot wisata di Pulau Breuh dimulai. Pertama-tama kami akan mengunjungi mercusuar
Willem’s Toren kemudian dilanjutkan dengan snorkeling di pantai. Jalan menuju
mercusuar ini ada di depan SD Meulingge, tak jauh dari rumah Pak Keuchik. Namun
medannya masih cukup berat
untuk dilalui dengan sepeda motor. Jalannya masih bertanah, belum teraspal dan
cukup menanjak. Boncengers harus beberapa kali turun dari motor dan berjalan
kaki. Kami akhirnya bisa mencapai mercusuar setelah melewati perjalanan sekitar
45 menit.
Mercusuar Willem's Toren dibangun Belanda ketika mereka memasuki Aceh melalui kawasan Pulo Aceh ini. Pembangunan dimulai tahun 1874 dan selesai setahun kemudian, 1875. Di sekitar
mercusuar Willem’s Toren terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda yang
sedang direnovasi. Tetapi ada satu reruntuhan gedung tua yang tinggal
dindingnya saja dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon yang menjalar sampai
ke dindingnya. Gedung ini seperti dimakan kembali oleh alam. Sungguh
pemandangan yang luar biasa.
Mercusuar
Willem’s Toren tampak gagah berdiri di ujung pulau dengan warna merah dan putih
di tubuhnya. Bau cat masih terasa kuat ketika kami memasuki mercusuar, tanda
belum lama mercusuar ini diwarnai kembali. Anak-anak tangganya pun terlihat
kokoh, tidak seperti yang Bang Arie ceritakan berdasarkan kunjungannya dulu.
Dari
puncak mercusuar, melihat ke seluruh penjuru mata angin terpampang pemandangan
yang indah. Mulai dari timur, lautan luas dan sebagian ujung pulau bisa terlihat. Beralih ke selatan, tampak
beberapa bangunan yang sedang
direnovasi dan reruntuhan gedung yang dimakan alam yang tadi sudah kusebut. Beralih
ke barat, bukit dan hutan Pulau Breuh tampak di sana, bersama bayangan mercusuar yang jatuh ke lautan. Beralih ke Utara, lautan
luas terbentang dan di kejauhan terlihat samar-samar Pulau Rondo, pulau terluar
Indonesia.
 |
Di bawah laut Pulo Breuh (Photo By: BraveRikaz) |
|
Setelah
puas menikmati pemandangan dari mercusuar, kami pun melanjutkan perjalanan
untuk snorkeling. Tempat yang kami tuju adalah pantai Ujung Puneun, letaknya tak terlalu jauh dari
mercusuar. Kalau kita menuju mercusuar dari arah Desa Meulingge, sewaktu menjumpai simpang 3, ke kiri
mengarah ke mercusuar, sedangkan ke kanan mengarah ke Ujung Puneun. Di Ujung Puneun terdapat dermaga. Dari sinilah
bahan-bahan untuk renovasi kompleks mercusuar didatangkan.
Di tepi
pantai, di bawah teduhnya pepohonan kami menemui beberapa orang tukang yang sedang beristirahat. Kami pun
meletakkan barang-barang bawaan di situ dan bersiap-siap untuk snorkeling. Tak lupa sebelumnya mengabadikan pemandangan
pantai, laut, dermaga, termasuk orangnya. Di bawah
air, sekitar 20 meter dari pantai, keindahan karang sudah mulai terlihat.
Berbagai macam ikan dengan beragam bentuk dan warna berkeliaran di antara
batu-batu karang.
 |
Hidangan makan malam di rumah Keuchik Meulingge (Photo By: BraveRikaz) |
Sore
harinya setelah snorkeling, kami kembali ke Desa Meulingge. Kami menikmati
hidangan makan malam yang sudah disediakan di rumah Pak Keuchik. Kemudian
menghabiskan waktu bersama Pak Keuchik dan keluarganya sebelum kembali
mengistirahatkan tubuh yang lelah bersenang-senang seharian.
menarik....
BalasHapusharus nyiapin waktu buat trip kesana
Saleum dari TAZAMBLOG
Pengen kesana, tapi belom pernah :D
BalasHapus